BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tampaknya
perdebatan dan sikap sinis sebagian orang terhadap paham Ekonomi Kerakyatan,
tidak didukung oleh pemahaman yang memadai tentang Ekonomi Kerakyatan itu
sendiri. Sebaliknya, dukungan terhadap pihak lain yang mendukung Ekonomi
Kapitalis / Liberal juga tidak ditunjang oleh pemahaman yang memadai. Kalau
dibiarkan, perdebatan seperti ini ibarat memperebutkan pepesan kosong, di mana
kedua belah pihak tidak tahu sebenarnya apa isi dari pepesan yang diperebutkan
tsb.
Ekonomi
Kapitalis dan Ekonomi Kerakyatan mencakup pengertian yang sangat luas, yang
untuk menjelaskannya secara lengkap, harus disusun dalam suatu text book yang
mungkin tidak akan kurang dari 1.000 halaman. Selain itu pihak yang ingin
memahami Ekonomi Kapitalis maupum Ekonomi Kerakyatan, seyogyanya perlu
dilandasi oleh pengetahuan dasar tentang Ilmu Ekonomi (Economics Science),
khususnya Ekonomi Makro (macro economics) dan Ekonomi Pembangunan (economics
development) , karena pembahasan keduanya akan berputar seputar kedua macam
ilmu ekonomi tsb.
Ekonomi
Kapitalis maupum Ekonomi Kerakyatan adalah sistem ekonomi yang lajim
dipergunakan untuk mengatur perekonomian suatu negara. Secara umum tujuan
keduanya relatif sama, yaitu untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat, atau istilah politisnya untuk mencapai Sosialisme. Perbedaannya
adalah dalam cara dan proses untuk mencapai tingkat kemakmuran tsb, di mana
secara prinsip, keduanya satu sama lain saling bertentangan.
Walaupun
dalam prosesnya sistem yang satu mengandalkan orang kaya dan sistem yang lain
mengutamakan orang miskin, tetapi bukan jaminan bahwa orang kaya dan pengusaha
mustahil mendukung sistem Ekonomi Kerakyatan, atau sebaliknya sistem Ekonomi
Kapitalis hanya akan didukung oleh orang kaya dan pengusaha saja. Keduanya
hanya sistem yang masing-masing akan didukung dan dipercaya oleh sebagian orang
yang pernah mempelajari, memahami, dan meyakini kebenarannya, baik orang kaya /
pengusaha ataupun bukan / orang miskin.
Sampai
sejauh ini tulisan tentang Ekonomi Kapitalis dan Ekonomi Kerakyatan umumnya
terlalu menekankan pada filosofi dasar yang cukup berat bagi konsumsi orang
awam yang tidak pernah mempelajari ilmu ekonomi secara khusus. Tulisan ini
ingin menyajikan pengertian tentang Ekonomi Kapitalis dan Ekonomi Kerakyatan
dari salah satu sudut pandang, agar mudah dipahami oleh orang awam, dan tidak
terlalu menekankan pada landasan teori. Tentu saja tulisan ini jauh dari
sempurna dan terlalu jauh dari kesan ilmiah. Kritik dan saran dari siapapun
akan diterima dengan senang hati.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
masalah yang kami bahas kali ini yaitu “menjelaskan tentang Ekonomi Kapitalis
vs Ekonomi Kerakyatan ?”.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 EKONOMI KAPITALIS / LIBERAL
Menurut
pemikiran para pendukung sistem Ekonomi Kapitalis, singkatnya, pemerintah harus
seminim mungkin memungut pajak dari perusahaan. Upah buruh juga jangan terlalu
besar, secukupnya saja untuk menutupi biaya hidupnya. Perusahaan juga harus
diberi berbagai fasilitas kemudahan agar dapat berkembang pesat dalam waktu
singkat. Dengan demikian, perusahaan akan mendapat untung yang besar, yang
setelah terkumpul sampai jumlah tertentu, dapat digunakan untuk membangun
perusahaan baru. Singkatnya laba tsb untuk kesinambungan investasi.
Kalau
banyak perusahaan baru, berarti akan terbuka lapangan kerja baru, untuk
menampung peningkatan angkatan kerja sehubungan dengan pertumbuhan penduduk
yang setiap tahun meningkat terus. Dengan demikian tingkat pengangguran akan
dapat ditekan. Kalau tingkat pengangguran rendah, berarti rakyat sejahtera dan
negara makmur. Selanjutnya upah buruh akan dinaikkan secara bertahap sampai ke
tingkat yang wajar, setelah pengangguran di negara tsb teratasi.
Oleh
karena itu, kebijakan ekonomi negara yang menganut Sistem Ekonomi Kapitalis,
mengutamakan investasi besar2an, baik yang berasal dari modal domestik maupun
modal asing. Konsekwensinya, sektor perbankan juga dalam menunjang kebijakan
Ekonomi Kapitalis tsb, cenderung memberikan kredit kepada perusahan2 besar saja
dan kurang berminat pada kredit mini dan mikro. Alasan yang dikemukakan umumnya
standard: sulit berurusan dengan masyarakat lapisan bawah yang relatif
berpendidikan rendah, dan profit dari kredit mini & mikro juga relatif
kecil, bahkan tidak bisa menutup biaya operasional bank tsb.
Ekonomi
Liberal adalah pengembangan lebih lanjut dari sistem Ekonomi Kapitalis, yang
intinya menuntut pemerintah agar tidak turut campur dalam urusan business,
alasannya akan mematikan kreatifitas yang dikembangkan oleh dunia usaha,
sehingga akan menghambat efisiensi usaha dan pencapaian laba serta pembukaan
lapangan kerja baru. Neo Liberal adalah bentuk paling akhir dari sistem Ekonomi
Liberal, sehubungan dengan gagasan globalisasi yang berkembang pesat pada
dekade terakhir ini.
Ciri
yang paling mudah dikenali dari sistem Ekonomi Kapitalis / Liberal ini adalah
adanya Konglomerasi, yang menguasi business tertentu dari hulu sampai hilir,
serta memiliki bank untuk mengelola dan membiayai keuangan perusahaannya.
Dengan demikian, jika beberapa konglomerat yang ada di Indonesia misalnya
bergabung dalam suatu konsorsium, maka mereka akan dapat mengusai perekonomian
Indonesia (akan tercipta Oligopoly). Oleh karena itu dapat dimaklumi jika
beberapa tahun yll berkembang isu, bahwa 70% perekonomian Indonesia dikuasai
orang Tionghoa, karena mayoritas dari konglomerat tsb adalah orang Tionghoa,
walaupun sebenarnya tidak seperti itu.
Di
atas kertas teori ini tidak salah, tapi sama sekali tidak menyentuh rasa
keadilan terhadap sesama manusia. Apalagi di dalam negara yang hukumnya masih
sangat lemah. Dalam hal ini buruh hanya dianggap sebagai alat produksi, dan
fungsinya disamakan dengan mesin2. Amat sangat tidak adil jika buruh yang
bekerja berat sepanjang hari dan sepanjang tahun, hanya mendapat upah minimum
kurang dari Rp. 1 juta / bulan, yang untuk membiayai kebutuhan fisik minimum
(KFM – sekedar bisa makan, bukan hidup layak) pun tidak cukup. Sedangkan
pemilik perusahaan menggaji dirinya sendiri ratusan juta rupiah / bulan. Disini
bukan berarti buruh harus digaji sama dengan majikan, tapi setidak tidaknya
buruh berhak mendapatkan upah yang wajar, yang cukup untuk membiayai kehidupan
yang layak, termasuk untuk masa depan anak2nya.
Selain
itu, juga amat sangat diragukan kejujuran perusahaan atas penggunaan laba yang
diperolehnya. Apakah benar pemilik hanya akan mengambil secukupnya untuk
kebutuhan hidup yang layak, dan sisanya akan ditanam kembali untuk ekspansi
perusahaan? Dalam pengertian tsb terkandung asumsi bahwa market perusahaan tsb
selalu terbuka lebar. Dengan demikian, perusahaan yang tidak menanamkan kembali
labanya akan berdalih bahwa market sudah jenuh, sudah tidak mampu lagi menyerap
hasil produksi perusahaan tsb. Perusahaan juga dengan mudah menghindari kenaikan
upah buruh, dengan alasan biaya produksi yang naik terus sehingga laba
bertambah tipis.
Kebijakan
ekonomi seperti ini pernah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1966 sejalan
dengan dimulainya rejim Orde Baru. Apakah hasilnya bagi rakyat? Selama 32 tahun
rakyat dinina bobokan dengan jargon2 pembangunan yang sebenarnya tidak
menyentuh kehidupan rakyat jelata yang paling mendasar yaitu sandang – pangan –
papan, dan tidak sebanding dengan utang yang ditinggalkan penguasa yang harus
ditanggung oleh rakyat. Memang ada sekelompok masyarakat yang diuntungkan,
yaitu mereka yang bisa dekat dengan kekuasaaan dan bisa memanfaatkan berbagai
macam fasilitas yang tersedia. Tapi jumlahnya hanya sedikit dan tidak merata.
2.2 EKONOMI SOSIALIS / KERAKYATAN
Sistem
Ekonomi Kerakyatan adalah istilah lain dan versi lain dari sistem Ekonomi
Sosialis, yang ingin diterapkan dan disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Dalam
sistem Ekonomi Sosialis ini yang ingin ditekankan adalah peningkatan kehidupan
masyarakat lapisan bawah, meliputi buruh, tani, nelayan, dan UKM. Peningkatan
ini dapat dilakukan melalui berbagai macam cara, antara lain menciptakan
lapangan kerja baru, membuka lahan pertanian / perkebunan baru, menggali
potensi yang ada, atau menaikkan upah buruh sampai cukup untuk kehidupan yang
layak, termasuk untuk pendidikan dan masa depan anak-anaknya.
Jika
buruh mendapat upah beberapa kali liipat upah minimum yang sekarang diterima,
maka otomatis daya belinya akan meningkat, dan dapat dipastikan tambahan ini
akan dibelanjakan seluruhnya di dalam negeri untuk membeli barang2 buatan
lokal, sehingga tidak mempengaruhi devisa negara. Sebagian dari upah tsb,
melalui berbagai saluran distribusi akhirnya akan kembali ke produsen dalam
bentuk hasil penjualan dan profit. Naiknya daya beli masyarakat ini akan
mendorong kenaikan market di dalam negeri, dan akhirnya akan memberi kesempatan
kepada produsen untuk mengembangkan usahanya.
Tambahan
laba yang diterima produsen ini akan mengcover berkurangnya laba yang dapat
diterima produsen karena naiknya upah buruh. Agar semua dapat berjalan lancar,
harus ada aturan yang jelas untuk membatasi import barang2 yang sudah dapat
dibuat di dalam negeri. Tentu saja, kenaikan upah buruh ini harus dilakukan
secara bertahap, misalnya dalam waktu sekian tahun, UMK (Upah Minimum
Kabupaten/Kota) harus naik menjadi sekian kali lipat. Dengan naiknya upah
buruh, maka harga jual pertanian, khususnya beras dapat dinaikkan pula,
sehingga petani dan juga nelayan akan mendapatkan peningkatan penghasilan yang layak
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik melalui kenaikan harga maupun melalui
naiknya volume kebutuhan pangan yang lebih bergizi.
Selama
ini, kenaikan harga jual pertanian akan menimbulkan masalah bagi kaum urban
kota, sebaliknya harga jual pertanian yang rendah akan menimbulkan masalah bagi
petani. Naiknya upah buruh dan naiknya pendapatan petani, otomatis akan
meningkatkan daya beli dan mendorong meningkatnya market dari UKM, sehingga UKM
juga akan berkembang. Dalam pengertian UKM disini utamanya adalah home
industri, yang konsumen utamanya adalah kalangan marginal. Dengan berkembangnya
daya beli masyarakat marginal melalui kenaikan pendapatan ini, baik yang
diterima buruh, petani, maupun UKM, akhirnya akan kembali ke produsen sejalan
dengan meningkatnya market barang dan jasa di dalam negeri yang diciptakan
produsen.
Dalam
sistem Ekonomi Kerakyatan ini yang diutamakan adalah rakyat kecil, yaitu buruh,
tani, nelayan, dan UKM. Dalam sistem ini, khususnya dalam bidang produksi, yang
ingin didorong maju adalah UKM yang tersebar di seluruh Indonesia.
Pertimbangannya, kenaikan sekian prosen produksi oleh UKM hasilnya dapat
dinikmati oleh sejumlah besar pengusaha kecil, sedangkan kenaikan yang sama
oleh konglomerat hasilnya hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang kaya
saja. Dengan demikian akan terbentuk pemerataan pendapatan yang lebih baik, dan
gap antara yang kaya dan yang miskin akan lebih menyempit. Cara yang relatif
sama dengan proses yang berbeda akan diterapkan pula terhadap buruh, tani, dan
nelayan.
Agar
penyebaran distribusi pendapatan ini dapat terlakasana dengan baik, maka perlu
ada aturan2 main yang jelas, yang melarang pemilik modal raksasa (konglomerat)
merampas hajat hidup UKM. Misalnya konglomerasi, yaitu suatu jaringan business
yang menguasai proses produksi dari hulu sampai hilir, termasuk juga penguasaan
bahan baku dan keuangannya, dilarang oleh UU demi hak masyarakat luas untuk
mendapatkan penghasilan yang layak. Perlu dicatat disini, bahwa yang dilarang
adalah konglomerasi, bukan melarang orang menjadi kaya atau menjadi pengusaha
yang memiliki perusahaan besar. Dalam sistem Ekonomi Sosialis /Kerakyatan ini,
sama sekali tidak ada larangan orang menjadi kaya, asalkan kekayaannya tsb
diperoleh secara halal dan tidak melanggar UU.
Seseorang
yang kaya raya yang memiliki uang berlimpah-limpah, boleh saja memiliki saham
di banyak perusahaan, tetapi tidak boleh menjadi penguasa di lebih dari 3
perusahaan misalnya. Di perusahaan ke 1 – 3 dia boleh menjadi pengurus (Direksi
atau Komisaris atau sejenisnya), tapi di perusahaan ke 4 dia hanya boleh
menjadi pemegang saham minoritas yang tidak mempunyai hak suara significant.
Tujuannya agar dia tidak bisa mengatur perusahaan ke 4 dst mengikuti kebutuhan
perusahaan ke 1 – 3. Kalau dia masih mempunyai hak suara significant di
perusahaan ke 4 dst, berarti dia masih mempunyai jaringan konglomerasi dan bisa
memegang monopoli terselubung. Aturan seperti ini harus dijalankan dengan ketat
dengan sanksi hukum yang berat, untuk menghindarkan perusahaan Ali-Baba seperti
masa lalu. Aturan ini relatif harus lebih ketat terhadap investor asing.
Sistem Ekonomi Sosialis / Kerakyatan
seperti ini, dalam versi yang sedikit berbeda pernah diterapkan pada jaman Orde
Lama di bawah Bung Karno, yang kita kenal sebagai Ekonomi Terpimpin. Sayangnya
dengan berbagai hambatan ekonomi dan politis saat itu, sistem ini gagal
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sistem ini juga dipakai di Singapore,
Taiwan, Perancis, dsb, di mana ciri yang menonjol dari sistem ini antara lain
tidak ada perusahaan raksasa, yang dapat dilihat dari jumlah pegawainya.
Perusahaan dengan 100 pegawai sudah dianggap besar. Di Perancis misalnya,
keluarga Al Fayed sah-sah saja memiliki mal super raksasa “La Fayette” yang
luasnya beberapa kali lapangan sepak bola dan hotel “Ritz” yang super mewah
(tolong dikoreksi kalau salah).
BAB III
KESIMPULAN
Ekonomi
Liberal adalah pengembangan lebih lanjut dari sistem Ekonomi Kapitalis, yang
intinya menuntut pemerintah agar tidak turut campur dalam urusan business,
alasannya akan mematikan kreatifitas yang dikembangkan oleh dunia usaha,
sehingga akan menghambat efisiensi usaha dan pencapaian laba serta pembukaan
lapangan kerja baru. Neo Liberal adalah bentuk paling akhir dari sistem Ekonomi
Liberal, sehubungan dengan gagasan globalisasi yang berkembang pesat pada
dekade terakhir ini.
Ciri
yang paling mudah dikenali dari sistem Ekonomi Kapitalis / Liberal ini adalah
adanya Konglomerasi, yang menguasi business tertentu dari hulu sampai hilir,
serta memiliki bank untuk mengelola dan membiayai keuangan perusahaannya.
Dengan demikian, jika beberapa konglomerat yang ada di Indonesia misalnya
bergabung dalam suatu konsorsium, maka mereka akan dapat mengusai perekonomian
Indonesia (akan tercipta Oligopoly). Oleh karena itu dapat dimaklumi jika
beberapa tahun yll berkembang isu, bahwa 70% perekonomian Indonesia dikuasai
orang Tionghoa, karena mayoritas dari konglomerat tsb adalah orang Tionghoa,
walaupun sebenarnya tidak seperti itu.
Sistem
Ekonomi Kerakyatan adalah istilah lain dan versi lain dari sistem Ekonomi
Sosialis, yang ingin diterapkan dan disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Dalam
sistem Ekonomi Sosialis ini yang ingin ditekankan adalah peningkatan kehidupan
masyarakat lapisan bawah, meliputi buruh, tani, nelayan, dan UKM. Peningkatan
ini dapat dilakukan melalui berbagai macam cara, antara lain menciptakan
lapangan kerja baru, membuka lahan pertanian / perkebunan baru, menggali
potensi yang ada, atau menaikkan upah buruh sampai cukup untuk kehidupan yang
layak, termasuk untuk pendidikan dan masa depan anak-anaknya.
The best casino of the day with a no deposit bonus!
BalasHapusBest free septcasino slots deccasino with a no deposit bonus! ➤ List of the best free slots ⭐ ✓ Withdraw winnings instantly ✓ Only หาเงินออนไลน์ on casinos with our huge