Minggu, 12 Mei 2013

ekonomi-kapitalis-vs-ekonomi-kerakyatan/

BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
            Tampaknya perdebatan dan sikap sinis sebagian orang terhadap paham Ekonomi Kerakyatan, tidak didukung oleh pemahaman yang memadai tentang Ekonomi Kerakyatan itu sendiri. Sebaliknya, dukungan terhadap pihak lain yang mendukung Ekonomi Kapitalis / Liberal juga tidak ditunjang oleh pemahaman yang memadai. Kalau dibiarkan, perdebatan seperti ini ibarat memperebutkan pepesan kosong, di mana kedua belah pihak tidak tahu sebenarnya apa isi dari pepesan yang diperebutkan tsb.
            Ekonomi Kapitalis dan Ekonomi Kerakyatan mencakup pengertian yang sangat luas, yang untuk menjelaskannya secara lengkap, harus disusun dalam suatu text book yang mungkin tidak akan kurang dari 1.000 halaman. Selain itu pihak yang ingin memahami Ekonomi Kapitalis maupum Ekonomi Kerakyatan, seyogyanya perlu dilandasi oleh pengetahuan dasar tentang Ilmu Ekonomi (Economics Science), khususnya Ekonomi Makro (macro economics) dan Ekonomi Pembangunan (economics development) , karena pembahasan keduanya akan berputar seputar kedua macam ilmu ekonomi tsb.
            Ekonomi Kapitalis maupum Ekonomi Kerakyatan adalah sistem ekonomi yang lajim dipergunakan untuk mengatur perekonomian suatu negara. Secara umum tujuan keduanya relatif sama, yaitu untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, atau istilah politisnya untuk mencapai Sosialisme. Perbedaannya adalah dalam cara dan proses untuk mencapai tingkat kemakmuran tsb, di mana secara prinsip, keduanya satu sama lain saling bertentangan.
            Walaupun dalam prosesnya sistem yang satu mengandalkan orang kaya dan sistem yang lain mengutamakan orang miskin, tetapi bukan jaminan bahwa orang kaya dan pengusaha mustahil mendukung sistem Ekonomi Kerakyatan, atau sebaliknya sistem Ekonomi Kapitalis hanya akan didukung oleh orang kaya dan pengusaha saja. Keduanya hanya sistem yang masing-masing akan didukung dan dipercaya oleh sebagian orang yang pernah mempelajari, memahami, dan meyakini kebenarannya, baik orang kaya / pengusaha ataupun bukan / orang miskin.
            Sampai sejauh ini tulisan tentang Ekonomi Kapitalis dan Ekonomi Kerakyatan umumnya terlalu menekankan pada filosofi dasar yang cukup berat bagi konsumsi orang awam yang tidak pernah mempelajari ilmu ekonomi secara khusus. Tulisan ini ingin menyajikan pengertian tentang Ekonomi Kapitalis dan Ekonomi Kerakyatan dari salah satu sudut pandang, agar mudah dipahami oleh orang awam, dan tidak terlalu menekankan pada landasan teori. Tentu saja tulisan ini jauh dari sempurna dan terlalu jauh dari kesan ilmiah. Kritik dan saran dari siapapun akan diterima dengan senang hati.

1.2   Rumusan Masalah
            Adapun masalah yang kami bahas kali ini yaitu “menjelaskan tentang Ekonomi Kapitalis vs Ekonomi Kerakyatan ?”.










BAB II
PEMBAHASAN

2.1  EKONOMI KAPITALIS / LIBERAL
            Menurut pemikiran para pendukung sistem Ekonomi Kapitalis, singkatnya, pemerintah harus seminim mungkin memungut pajak dari perusahaan. Upah buruh juga jangan terlalu besar, secukupnya saja untuk menutupi biaya hidupnya. Perusahaan juga harus diberi berbagai fasilitas kemudahan agar dapat berkembang pesat dalam waktu singkat. Dengan demikian, perusahaan akan mendapat untung yang besar, yang setelah terkumpul sampai jumlah tertentu, dapat digunakan untuk membangun perusahaan baru. Singkatnya laba tsb untuk kesinambungan investasi.
            Kalau banyak perusahaan baru, berarti akan terbuka lapangan kerja baru, untuk menampung peningkatan angkatan kerja sehubungan dengan pertumbuhan penduduk yang setiap tahun meningkat terus. Dengan demikian tingkat pengangguran akan dapat ditekan. Kalau tingkat pengangguran rendah, berarti rakyat sejahtera dan negara makmur. Selanjutnya upah buruh akan dinaikkan secara bertahap sampai ke tingkat yang wajar, setelah pengangguran di negara tsb teratasi.
            Oleh karena itu, kebijakan ekonomi negara yang menganut Sistem Ekonomi Kapitalis, mengutamakan investasi besar2an, baik yang berasal dari modal domestik maupun modal asing. Konsekwensinya, sektor perbankan juga dalam menunjang kebijakan Ekonomi Kapitalis tsb, cenderung memberikan kredit kepada perusahan2 besar saja dan kurang berminat pada kredit mini dan mikro. Alasan yang dikemukakan umumnya standard: sulit berurusan dengan masyarakat lapisan bawah yang relatif berpendidikan rendah, dan profit dari kredit mini & mikro juga relatif kecil, bahkan tidak bisa menutup biaya operasional bank tsb.
            Ekonomi Liberal adalah pengembangan lebih lanjut dari sistem Ekonomi Kapitalis, yang intinya menuntut pemerintah agar tidak turut campur dalam urusan business, alasannya akan mematikan kreatifitas yang dikembangkan oleh dunia usaha, sehingga akan menghambat efisiensi usaha dan pencapaian laba serta pembukaan lapangan kerja baru. Neo Liberal adalah bentuk paling akhir dari sistem Ekonomi Liberal, sehubungan dengan gagasan globalisasi yang berkembang pesat pada dekade terakhir ini.
            Ciri yang paling mudah dikenali dari sistem Ekonomi Kapitalis / Liberal ini adalah adanya Konglomerasi, yang menguasi business tertentu dari hulu sampai hilir, serta memiliki bank untuk mengelola dan membiayai keuangan perusahaannya. Dengan demikian, jika beberapa konglomerat yang ada di Indonesia misalnya bergabung dalam suatu konsorsium, maka mereka akan dapat mengusai perekonomian Indonesia (akan tercipta Oligopoly). Oleh karena itu dapat dimaklumi jika beberapa tahun yll berkembang isu, bahwa 70% perekonomian Indonesia dikuasai orang Tionghoa, karena mayoritas dari konglomerat tsb adalah orang Tionghoa, walaupun sebenarnya tidak seperti itu.
            Di atas kertas teori ini tidak salah, tapi sama sekali tidak menyentuh rasa keadilan terhadap sesama manusia. Apalagi di dalam negara yang hukumnya masih sangat lemah. Dalam hal ini buruh hanya dianggap sebagai alat produksi, dan fungsinya disamakan dengan mesin2. Amat sangat tidak adil jika buruh yang bekerja berat sepanjang hari dan sepanjang tahun, hanya mendapat upah minimum kurang dari Rp. 1 juta / bulan, yang untuk membiayai kebutuhan fisik minimum (KFM – sekedar bisa makan, bukan hidup layak) pun tidak cukup. Sedangkan pemilik perusahaan menggaji dirinya sendiri ratusan juta rupiah / bulan. Disini bukan berarti buruh harus digaji sama dengan majikan, tapi setidak tidaknya buruh berhak mendapatkan upah yang wajar, yang cukup untuk membiayai kehidupan yang layak, termasuk untuk masa depan anak2nya.
            Selain itu, juga amat sangat diragukan kejujuran perusahaan atas penggunaan laba yang diperolehnya. Apakah benar pemilik hanya akan mengambil secukupnya untuk kebutuhan hidup yang layak, dan sisanya akan ditanam kembali untuk ekspansi perusahaan? Dalam pengertian tsb terkandung asumsi bahwa market perusahaan tsb selalu terbuka lebar. Dengan demikian, perusahaan yang tidak menanamkan kembali labanya akan berdalih bahwa market sudah jenuh, sudah tidak mampu lagi menyerap hasil produksi perusahaan tsb. Perusahaan juga dengan mudah menghindari kenaikan upah buruh, dengan alasan biaya produksi yang naik terus sehingga laba bertambah tipis.
            Kebijakan ekonomi seperti ini pernah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1966 sejalan dengan dimulainya rejim Orde Baru. Apakah hasilnya bagi rakyat? Selama 32 tahun rakyat dinina bobokan dengan jargon2 pembangunan yang sebenarnya tidak menyentuh kehidupan rakyat jelata yang paling mendasar yaitu sandang – pangan – papan, dan tidak sebanding dengan utang yang ditinggalkan penguasa yang harus ditanggung oleh rakyat. Memang ada sekelompok masyarakat yang diuntungkan, yaitu mereka yang bisa dekat dengan kekuasaaan dan bisa memanfaatkan berbagai macam fasilitas yang tersedia. Tapi jumlahnya hanya sedikit dan tidak merata.

2.2  EKONOMI SOSIALIS / KERAKYATAN
            Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah istilah lain dan versi lain dari sistem Ekonomi Sosialis, yang ingin diterapkan dan disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Dalam sistem Ekonomi Sosialis ini yang ingin ditekankan adalah peningkatan kehidupan masyarakat lapisan bawah, meliputi buruh, tani, nelayan, dan UKM. Peningkatan ini dapat dilakukan melalui berbagai macam cara, antara lain menciptakan lapangan kerja baru, membuka lahan pertanian / perkebunan baru, menggali potensi yang ada, atau menaikkan upah buruh sampai cukup untuk kehidupan yang layak, termasuk untuk pendidikan dan masa depan anak-anaknya.
            Jika buruh mendapat upah beberapa kali liipat upah minimum yang sekarang diterima, maka otomatis daya belinya akan meningkat, dan dapat dipastikan tambahan ini akan dibelanjakan seluruhnya di dalam negeri untuk membeli barang2 buatan lokal, sehingga tidak mempengaruhi devisa negara. Sebagian dari upah tsb, melalui berbagai saluran distribusi akhirnya akan kembali ke produsen dalam bentuk hasil penjualan dan profit. Naiknya daya beli masyarakat ini akan mendorong kenaikan market di dalam negeri, dan akhirnya akan memberi kesempatan kepada produsen untuk mengembangkan usahanya.
            Tambahan laba yang diterima produsen ini akan mengcover berkurangnya laba yang dapat diterima produsen karena naiknya upah buruh. Agar semua dapat berjalan lancar, harus ada aturan yang jelas untuk membatasi import barang2 yang sudah dapat dibuat di dalam negeri. Tentu saja, kenaikan upah buruh ini harus dilakukan secara bertahap, misalnya dalam waktu sekian tahun, UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) harus naik menjadi sekian kali lipat. Dengan naiknya upah buruh, maka harga jual pertanian, khususnya beras dapat dinaikkan pula, sehingga petani dan juga nelayan akan mendapatkan peningkatan penghasilan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik melalui kenaikan harga maupun melalui naiknya volume kebutuhan pangan yang lebih bergizi.
            Selama ini, kenaikan harga jual pertanian akan menimbulkan masalah bagi kaum urban kota, sebaliknya harga jual pertanian yang rendah akan menimbulkan masalah bagi petani. Naiknya upah buruh dan naiknya pendapatan petani, otomatis akan meningkatkan daya beli dan mendorong meningkatnya market dari UKM, sehingga UKM juga akan berkembang. Dalam pengertian UKM disini utamanya adalah home industri, yang konsumen utamanya adalah kalangan marginal. Dengan berkembangnya daya beli masyarakat marginal melalui kenaikan pendapatan ini, baik yang diterima buruh, petani, maupun UKM, akhirnya akan kembali ke produsen sejalan dengan meningkatnya market barang dan jasa di dalam negeri yang diciptakan produsen.
            Dalam sistem Ekonomi Kerakyatan ini yang diutamakan adalah rakyat kecil, yaitu buruh, tani, nelayan, dan UKM. Dalam sistem ini, khususnya dalam bidang produksi, yang ingin didorong maju adalah UKM yang tersebar di seluruh Indonesia. Pertimbangannya, kenaikan sekian prosen produksi oleh UKM hasilnya dapat dinikmati oleh sejumlah besar pengusaha kecil, sedangkan kenaikan yang sama oleh konglomerat hasilnya hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang kaya saja. Dengan demikian akan terbentuk pemerataan pendapatan yang lebih baik, dan gap antara yang kaya dan yang miskin akan lebih menyempit. Cara yang relatif sama dengan proses yang berbeda akan diterapkan pula terhadap buruh, tani, dan nelayan.
            Agar penyebaran distribusi pendapatan ini dapat terlakasana dengan baik, maka perlu ada aturan2 main yang jelas, yang melarang pemilik modal raksasa (konglomerat) merampas hajat hidup UKM. Misalnya konglomerasi, yaitu suatu jaringan business yang menguasai proses produksi dari hulu sampai hilir, termasuk juga penguasaan bahan baku dan keuangannya, dilarang oleh UU demi hak masyarakat luas untuk mendapatkan penghasilan yang layak. Perlu dicatat disini, bahwa yang dilarang adalah konglomerasi, bukan melarang orang menjadi kaya atau menjadi pengusaha yang memiliki perusahaan besar. Dalam sistem Ekonomi Sosialis /Kerakyatan ini, sama sekali tidak ada larangan orang menjadi kaya, asalkan kekayaannya tsb diperoleh secara halal dan tidak melanggar UU.
            Seseorang yang kaya raya yang memiliki uang berlimpah-limpah, boleh saja memiliki saham di banyak perusahaan, tetapi tidak boleh menjadi penguasa di lebih dari 3 perusahaan misalnya. Di perusahaan ke 1 – 3 dia boleh menjadi pengurus (Direksi atau Komisaris atau sejenisnya), tapi di perusahaan ke 4 dia hanya boleh menjadi pemegang saham minoritas yang tidak mempunyai hak suara significant. Tujuannya agar dia tidak bisa mengatur perusahaan ke 4 dst mengikuti kebutuhan perusahaan ke 1 – 3. Kalau dia masih mempunyai hak suara significant di perusahaan ke 4 dst, berarti dia masih mempunyai jaringan konglomerasi dan bisa memegang monopoli terselubung. Aturan seperti ini harus dijalankan dengan ketat dengan sanksi hukum yang berat, untuk menghindarkan perusahaan Ali-Baba seperti masa lalu. Aturan ini relatif harus lebih ketat terhadap investor asing.
            Sistem Ekonomi Sosialis / Kerakyatan seperti ini, dalam versi yang sedikit berbeda pernah diterapkan pada jaman Orde Lama di bawah Bung Karno, yang kita kenal sebagai Ekonomi Terpimpin. Sayangnya dengan berbagai hambatan ekonomi dan politis saat itu, sistem ini gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sistem ini juga dipakai di Singapore, Taiwan, Perancis, dsb, di mana ciri yang menonjol dari sistem ini antara lain tidak ada perusahaan raksasa, yang dapat dilihat dari jumlah pegawainya. Perusahaan dengan 100 pegawai sudah dianggap besar. Di Perancis misalnya, keluarga Al Fayed sah-sah saja memiliki mal super raksasa “La Fayette” yang luasnya beberapa kali lapangan sepak bola dan hotel “Ritz” yang super mewah (tolong dikoreksi kalau salah).

BAB III
KESIMPULAN

            Ekonomi Liberal adalah pengembangan lebih lanjut dari sistem Ekonomi Kapitalis, yang intinya menuntut pemerintah agar tidak turut campur dalam urusan business, alasannya akan mematikan kreatifitas yang dikembangkan oleh dunia usaha, sehingga akan menghambat efisiensi usaha dan pencapaian laba serta pembukaan lapangan kerja baru. Neo Liberal adalah bentuk paling akhir dari sistem Ekonomi Liberal, sehubungan dengan gagasan globalisasi yang berkembang pesat pada dekade terakhir ini.
            Ciri yang paling mudah dikenali dari sistem Ekonomi Kapitalis / Liberal ini adalah adanya Konglomerasi, yang menguasi business tertentu dari hulu sampai hilir, serta memiliki bank untuk mengelola dan membiayai keuangan perusahaannya. Dengan demikian, jika beberapa konglomerat yang ada di Indonesia misalnya bergabung dalam suatu konsorsium, maka mereka akan dapat mengusai perekonomian Indonesia (akan tercipta Oligopoly). Oleh karena itu dapat dimaklumi jika beberapa tahun yll berkembang isu, bahwa 70% perekonomian Indonesia dikuasai orang Tionghoa, karena mayoritas dari konglomerat tsb adalah orang Tionghoa, walaupun sebenarnya tidak seperti itu.
            Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah istilah lain dan versi lain dari sistem Ekonomi Sosialis, yang ingin diterapkan dan disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Dalam sistem Ekonomi Sosialis ini yang ingin ditekankan adalah peningkatan kehidupan masyarakat lapisan bawah, meliputi buruh, tani, nelayan, dan UKM. Peningkatan ini dapat dilakukan melalui berbagai macam cara, antara lain menciptakan lapangan kerja baru, membuka lahan pertanian / perkebunan baru, menggali potensi yang ada, atau menaikkan upah buruh sampai cukup untuk kehidupan yang layak, termasuk untuk pendidikan dan masa depan anak-anaknya.


1 komentar:

  1. The best casino of the day with a no deposit bonus!
    Best free septcasino slots deccasino with a no deposit bonus! ➤ List of the best free slots ⭐ ✓ Withdraw winnings instantly ✓ Only หาเงินออนไลน์ on casinos with our huge

    BalasHapus